-->

Sate Gebug Malang Empuk dan Lezatnya Melegenda Sejak 1920

Sate adalah galat satu kuliner khas Indonesia yang dikenal hingga
mancanegara. Jika dulu kita hanya mengenal sate ayam dan daging, kini aneka jenis sate ditawarkan. Ada sate usus, ikan, bakso, udang, dan masih banyak lagi. Kali ini, kita akan bicara tentang sejarah & mengenal lebih dekat mengenai Sate Gebug 1920 Malang yg legendaris.

Sate dan Pengaruh Budaya Tamil

Sate umumnya hadir dalam rupa potongan daging dibumbui, ditusuk memakai lidi atau bambu, sebelum kemudian dibakar.  Kata ‘satai’ sendiri konon asal berdasarkan Bahasa Tamil. 

Satai atau sate diperkirakan mulai dikenal pada Indonesia dalam Abad ke-19 sebagai makanan yg dijajakan pada jalan. Menu ini mendapat pengaruh budaya Timur Tengah dari pendatang muslim Tamil dan Gujarat.

Awalnya bahan yg digunakan adalah daging kambing favorit para masyarakat keturunan Arab. Seiring berjalannya waktu, muncul sate ayam, sapi, kerbau, ikan, & sate lainnya.  Indonesia sendiri mempunyai kurang lebih 30 jenis sate. Masing-masing mengusung kekhasan sendiri, misalnya Sate Ponorogo, Sate Madura, Sate Maranggi, Sate Ondomehen, & masih poly lagi.

Setiap daerah memang punya sate menggunakan ciri masing-masing. Kota Malang
misalnya, punya ‘sate komoh’ dan Sate Gebug 1920.  Sate Komoh adalah sate daging menggunakan balutan bumbu merah. Potongannya berbentuk kotak dengan ukuran relatif besar . Sementara sate gebug adalah keliru satu sate
legendaris yang dirintis semenjak 1920.

Sejarah Sate Gebug 1920

Sate Gebug 1920 (c) Sri Rahayu/Travelingyuk

Nama Sate gebug 1920 terinspirasi berdasarkan proses pembuatan dan tahun awal dibukanya kedai.  Gebug dalam Bahasa Jawa memiliki makna dipukul.  Daging menjadi bahan primer sate sebelumnya dipukul-pukul agar empuk waktu dimakan. Dilihat menurut wujud & cara masaknya, sate ini sanggup dibilang adalah kumpulan antara Sate Buntel khas Solo & Sate Komoh spesial Malang.

Spanduk Sate Gebug 1920 (c) Sri Rahayu/Travelingyuk

Achmad Kabir, pengelola kedai Sate Gebug 1920, mengatakan sate ini lahir di tengah-tengah zaman kolonial. Kakek buyutnya yg keturunan
Malang menikah dengan nenek buyutnya, gadis dari Pasuruan. Mbah Yahmun dan pasangannya, Karbo Ati, lalu sempat menetap di Solo.

Keduanya lantas terinspirasi menciptakan sebuah sate anyar, gugusan antara sate buntel & komoh. Tak hanya cara pembuatan, bahan dan bumbu spesial ke 2 sate tadi juga dipadupadankan hingga jadi kombinasi sempurna. Dari manisnya Sate Buntel dan pedasnya Sate Komoh, lahirlah Sate Gebug menggunakan bumbu kecap yg khas.

Suasana di dalam warung (c) Sri Rahayu/Travelingyuk

Sekembalinya ke Malang, Mbah Yahmun & istrinya membeli sebuah bangunan yg awalnya merupakan Pabrik Es milik Belanda. Tempat ini lantas disulap sebagai kedai Sate Gepuk 1920 & masih terus bertahan sampai sekarang. Arsitekturnya jua masih dipertahankan, memberi kesan heritage lumayan kuat.

Deretan kursi & meja makan juga berwarna hijau (c) Sri Rahayu/Travelingyuk

Nuansa hijau terpancar semenjak menurut pintu masuk. Mulai berdasarkan kusen, loka tisu, tudung saji, sampai spanduk, semuanya sengaja dipilih menggunakan corak hijau.

Ditempa Sang Ayah Sejak SD

Mbah Yahmun berkomitmen mendidik anak-anaknya sejak awal, supaya mereka mampu meneruskan usaha sate gebug miliknya. Setelah mbah Karbo Ati, tongkat bisnis diserahkan dalam Tjipto Sugiono & istrinya, Ibu Rusni Yati Badare. Keduanya adalah orangtua berdasarkan Achmad Kabir.

Sebelum mewariskan bisnis Sate Gebug ke anaknya, Tjipto Sugiono mendidik mereka agar sanggup mengenal rasa, menguasai bumbu, & tidak mudah menyerah. Sejak kecil Kabir telah ditempa Sang Ayah buat meracik resep sate gebug sendiri. Hal tersebut mulai dilakukan waktu dirinya masih duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar.

Bukan sekedar mencampur, Tjipto pula disiplin melatih naluri dan panca indra Sang Putra. Semua dilakukan agar Kabir bisa mengenali bahan standar berdasarkan bau, rupa, maupun rasa. Apabila rasa masakan protesis Kabir tidak enak, Tjipto takkan segan membuangnya. 

Menurut Kabir, Sang Ayah mengajarkan bahwa kelezatan didapatkan berdasarkan komposisi bumbu pas. Apabila dari awal telah salah , taste-nya takkan sanggup diperbaiki.

Cita Rasa Sate Gebug Enak & Melegenda

99 tahun bertahan bukanlah prestasi mini bagi sebuah bisnis rumahan. Lantas apa yg sebagai kunci keberhasilan Sate Gebug 1920 selama ini?

Rudi (45), seorang wisatawan asal Jakarta, bercerita bahwa ia sengaja menyempatkan jauh-jauh datang demi memuaskan rasa rindu akan kelezatan legendaris Sate Gebug. 

Semasa kecil, Sang Ayah kerap mengajaknya sarapan pagi dengan semangkuk sup serta satu tusuk Sate Gebug. Setelah akbar & merantau ke kota lain, Rudi tidak sanggup melupakan nikmatnya keliru satu kuliner legendaris Malang tersebut. Selain empuk dan kaya rempah, menurutnya Sate Gebug termasuk ‘mareki’ atau mengenyangkan pada kata Jawa. 

Sate Gebug memang hadir pada ukuran jumbo, relatif mengenyangkan buat porsi anak-anak. Apalagi dagingnya terasa padat, tanpa campuran
tepung apapun kecuali bumbu rempah nikmat.

Rasanya pula sangat otentik, membuat para pelanggan selalu ingin kembali mencoba lagi dan lagi. Satu tusuk Sate Gebug dibandrol Rp25.000, demikian pula menggunakan semangkuk sup sayur. Meski tergolong tidak mengecewakan mahal, hal tersebut tak hingga menyurutkan minat pengunjung.

Pelayanan memuaskan jua membuat kedai Sate Gebug begitu melegenda pada Malang. Keberadaannya kerap menciptakan wisatawan penasaran. Lokasinya pun mudah dijangkau, pada Jalan Basuki Rahmat 113 A Klojen, Kota Malang.  Meski area parkir dan makannya tidak terlalu luas, pengunjung kerap terlihat keluar masuk dari kedai tersohor ini. Tak sedikit pula yang membeli buat dibawa pulang.

Menggunakan Rempah Pilihan

Irisan bawang, galat satu komponen Sate Gebug (c) Sri Rahayu/Travelingyuk

Saat berkunjung ke Sate Gebug, saya berkesempatan melihat eksklusif proses mengolah sate & pembuatan bumbu-bumbunya. Mula-mula, daging sapi yg telah digebug diberi bumbu. Berikutnya, ditusuk memakai tusuk sate. Terakhir, dibakar di atas arang sembari sekali waktu dikipas. 

Proses pembakaran Sate Gebug (c) Sri Rahayu/Travelingyuk

Posisi bakaran berada pada depan kedai, menciptakan aroma sate leluasa masuk ke pada. Begitu menyapa hidung, wanginya seolah membuat cacing pada perut menari riang gembira. Air liur mendadak terbit, membayangkan asyiknya menikmati setusuk Sate Gebug.

Sate Gebug dan wadah berisi bumbu (c) Sri Rahayu/Travelingyuk

Begitu digigit dan menyentuh lidah, sensasi kelezatannya memang luar biasa. Hmm..Bagaimana tidak nikmat, baluran bumbunya begitu poly. Aroma yg keluar sangat harum & spesial . Rempah-rempahnya pun nir sembarangan, kualitas pilihan. Kualitasnya terasa begitu paripurna.  

Bisa jadi inilah keliru satu yang jadi misteri kelezatan sate gebug, sekaligus alasan mengapa sate ini sanggup bertahan pada tengah persaingan bisnis masakan yang kian menjamur.

Mendol ..Oh..Mendol

Mendol & tempe pada Sate Gebug (c) Sri Rahayu/Travelingyuk

Jika berkunjung ke sini, Teman Traveler juga menjumpai olahan tempe khas Malang bernama mendol.  Salah satu lauk spesial Kota Bunga ini punya rasa unik.  Paduan bawang, cabe, rempah pilihan, & kencur membentuk citarasa tidak sama, yang mungkin tidak mampu ditemui di wilayah lain

Beragam jenis kerupuk di toples kaca jadul (c) Sri Rahayu/Travelingyuk

Ketika aku berkunjung ke Sate Gebug 1920, Achmad Kabir meletakkan piring besar berisi mendol dan tempe berukuran jumbo menjadi lauk pendamping.  Keduanya cocok sekali disandingkan dengan rawon dan sup sayur.  Jika belum puas, Teman Traveler bisa menambahkan aneka jenis kerupuk yg dikemas pada gugusan toples kaca jadul.

Related Posts

Subscribe Our Newsletter